Sabtu, 28 Januari 2012

Komoditi Daerah

Komoditi Investasi
 
Halaman ini memuat informasi mengenai Potensi Komoditi Investasi di Daerah di Indonesia yang dapat digunakan sebagai panduan bagi calon investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Komoditi Daerah
 

Pertambangan



Pertanian



Perkebunan



Perikanan



Kehutanan



Jasa



Peternakan



Industri


Profil Kabupaten Kepulauan-Talaud

Secara Geografis Kabupaten Kepulauan Talaud terletak di antara 03o38'00" - 05o33'00" LU - 126o38'00" - 127o10'00" BT, luas wilayahnya adalah 1.250,92 Km2 atau 8,19% dari luas Provinsi Sulawesi Utara.

Perbatasan wilayahnya adalah di sebelah timur berbatasan dengan Samudera Pasif, di sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi, di sebelah utara berbatasan dengan Negara Philipina, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Maluku, wilayah ini terbagi atas 19 Kecamatan dan 153 Desa.

Komoditi unggulan Kabupaten Kepulauan Talaud yaitu sektor pertanian, Perkebunan dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah Jagung dan Ubi kayu, Sub sektor perkebunan komoditi yang diunggulkan berupa lada, Pala, Kelapa dan cengkeh. Pariwisatanya yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya.

Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di Kabupaten ini tersedia 1 bandar udara, yaitu Bandara Melonguane. Untuk transportasi laut tersedia 3 pelabuhan, antara lain Pelabuhan Kawaluso, Pelabuhan Tagulandang, Pelabuhan Lirung.

Sumber Data:
Sulawesi Utara Dalam Angka 2009
BPS Provinsi Sulawesi Utara

Updated: 19-1-2012

Mane'e di Pulau Intata Kabupaten Kepulauan Talaud


Intata, sebuah nama yang terdengar asing. Tapi, potensi wisata dan perikanannya sungguh menjanjikan.Terhampar di kawasan kepulauan Talaud, Intata seperti kebanyakan pulau-pulau di wilayah perbatasan, seperti terasing di tengah gemuruh gelombang samudera Pasifik. 

Laporan: Axsel Galatang

DI Intata inilah setiap tahun digelar budaya Mane’e, yakni panen ikan yang diawali dengan upacara adat. Intata termasuk salah satu dari tiga pulau yang ada di  kawasan Kakorotang, Timur Laut Pulau Nanusa. Untuk mencapai Intata, pengunjung harus menempuh 7 jam perjalanan lewat laut dari Melonguane, ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud. Pagi itu, tepatnya Jumat (21/5), pekan lalu, ‘’keheningan’’ Intata mendadak terusik. KM Tatamailau --yang mengangkut kurang lebih 500-an rombongan dan panitia Hari Anti Narkotika Internasional (HANI)--  membuang sauh di perairan Kakorontang. Dari dek kapal milik PT Pelni itu, tampak panorama pagi di Intata yang menggoda. ‘’Luar biasa, ternyata potensi wisata  alam di kawasan perbatasan sungguh menakjubkan. Ini membutuhkan promosi agar ada investor yang mengolah surga nan menawan itu,’’ komentar Stevanus Budiyanto, salah satu anggota rombongan.
 Komentar pria asal Kediri, Jawa Timur itu sama dan sebangun dengan penilaian Brigjen Polisi Dr Benny Mamoto. Dalam perbincangan dengan Koran Ini di ruang eksekutif KM Tatamailau, Kamis malam (20/5), Mamoto menilai kawasan perbatasan utara Indonesia sudah saatnya mendapat perhatian serius. ‘’Selama ini kita hanya datang satu-dua jam, memberikan pidato kemudian meninggalkan penduduk kawasan perbatasan dengan selusin janji. Sikap seperti ini harus diubah dengan pola pendekatan yang secara langsung  melibatkan dan dirasakan oleh warga di perbatasan,’’ katanya.
Saat matahari mulai naik, satu persatu rombongan turun dari KM Tatamailau berpindah ke perahu-perahu kecil untuk selanjutnya menuju Intata. Sekitar 300 meter dari laut, mata langsung  tertumbuk pada bentangan pantai berpasir putih dari perairan yang bening. Begitu perahu-perahu kecil itu nyaris menyentuh bibir pantai, sejumlah anggota rombongan langsung menceburkan diri ke air laut. ‘’Mandi di laut Intata, saya jadi teringat pantai Kuta Bali. Bahkan, pasir pantainya di Intata jauh lebih halus,’’ kenang Ayu Walansendouw, salah satu anggota rombongan. 
Beberapa tokoh masyarakat Talaud yang ikut dalam rombongan HANI mengakui, terlalu banyak kendala yang dihadapi untuk mengembangkan potensi wisata dan perikanan di Intata. ‘’Transportasi, misalnya. Di sini cukup mahal karena minyak mahal. Makanya, perlu dibangun bungker minyak di kawasan Kepulauan Talaud,’’ pinta Drs Nelson Sarinda. Betapa pun aneka keterbatasan sarana dan prasarana yang membelit, Intata tetaplah salah satu ‘’surga Indonesia’’ yang berhak menuntut atensi dan sentuhan dari pemerintah pusat. ‘’Maksudnya, agar masyarakat di wilayah perbatasan, termasuk di Intata benar-benar merasa bagian dari repoblik Merah Putih,’’ sabda Donald Bentian, mahasiswa berdarah Talaud. (*)

SEJARAH SINGKAT BUMI PORODISA (KAB. KEP. TALAUD)

Konon pada zaman dahulu kala, di wilayah bibir pasific ada satu gugusan kepulauan sejak zaman sebelum masehi telah mengalami masa kejayaan atau keemasan dimana ketika itu walaupun sistem perdagangan masih bersifat barter atau apapun sebutannya tetapi wilayah itu sudah makmur kehidupan masyarakatnya, hingga pada zaman kerajaan Majapahit wilayah ini merupakan bagian dari kerajaan Majapahit yang bernama Udamakatraya.

Kepulauan tersebut dalam sebutan lamanya adalah Maleon (Karakelang), Sinduane (Salibabu), Tamarongge (Kabaruan), Batunampato (Kepulauan Nanusa) dan Tinonda adalah Miangas. Perjalanan panjang masyarakat yang mendiami gugusan kepulauan ini, tidak banyak kita temukan dalam prasasti ataupun tulisan-tulisan dan artepak-artepak lainnya, akan tetapi banyak hal bisa di lihat dari peninggalan peninggalan barang keramik dari cina yang terdapat di kuburan-kuburan tua, atau di gua-gua seperti yang telah di ungkapkan oleh seorang peneliti dari Ingris berkebangsaan Swiss yang berdomisili di Australia, yaitu Prof Bellwood. Beliau adalah seorang dosen terbang dari Universitas Chambera, pada tahun 1974 beliau pernah meneliti wilayah ini, di antaranya Gua Bukit Duanne Musi, juga di Salurang Sangihe. Hasil penelitian beliau telah di catat dalam satu tulisan yang di arsipkan di pusat arkeologi Nasional. Prof Bellwood dalam penelitiannya menemukan benda-benda yang diperkirakan berusia 6000 tahun sebelum masehi, yaitu barang-barang keramik, kapak batu dan barang-barang peninggalan lainnya.

Perdagangan barter dan sistim monopoli perdagangan rempah-rempah oleh negara-negara Eropa telah membentuk koloni-koloni perdagangan, yang bertujuan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah termasuk di wilayah gugusan kepulauan ini. Bangsa Eropa yang pertama kali tiba diwilayah ini adalah bangsa Portugis. Portugis telah menjadikan wilayah kepulauan ini, menjadi wilayahnya agar penguasaan perdagangan rempah-rempah tidak terganggu oleh pedagang dari China, Persia, dan Gujarat dari India, maka tanaman sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan lainnya di pindahkan penanamannya dari wilaya ini ke Ternate. Portugis berniat untuk memusnahkan (dibabat habis) tanaman rempah-rempah dari wilayah ini. Datanglah masa perjalanan ekspedisi Ferdinand Magelhaens pada tahun 1511-1521 dan tiba di wilayah kepulauan ini dengan seorang kepala armada perahu layar yaitu Santos, Santos telah terbunuh di Mindanao Philipines.

Bangsa Spanyol melanjutkan (ekspedisi Ferdinand Magelhaens) ke kepulauan Ternate dan langsung menjalin hubungan dengan Sultan Ternate Hairun, bangsa Portugis merasa terusik dengan kehadiran bangsa Spanyol. Sultan Hairun diundang ke markas Portugis dan di bunuh, timbulah perlawanan oleh anaknya yakni Sultan Baabulah dengan dukungan Spanyol, kesultanan ternate telah memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke pulau Papua, Sulawesi dan Mindanao.

Menelusuri surga dunia yang hilang (paradise) telah jelas pada catatan-catatan singkat di atas. Paradise hilang oleh karena keserakahan bangsa-bangsa penjajah/koloni–koloni atau penguasa masa itu. Keserakahan dalam penguasaan perdagangan rempah-rempah telah ikut menghilangkan nilai kelangsungan hidup manusia yang menjadi gambaran atau symbol dari sekelompok orang yang mendiami kepulauan di bibir pacific yang disebut dengan Paradise atau Surga, firdaus, yang lebih dikenal dengan nama Porodisa atau gugusan Kepulauan Talaud.

Paradise adalah nama yang indah yang telah tertanam dalam nilai-nilai kehidupan pada setiap pribadi atau individu yang luhur sebagai insan manusia yang meyakini akan sang Maha Kuasa sebagai pencipta lagit dan bumi, laut dan segala isinya, maka Ia adalah Khalik Semesta Alam, Tuhan yang menjaga, melindungi, dan memelihara kehidupan manusia yang berkenan kepadaNya, telah diwarisi secara turun temurun dalam struktur masyarakat adat yang religius, mengikat tali persaudaraan dengan cinta kasih terhadap sesamanya juga terpeliharanya alam lingkungan yang baik untuk mereka hidup.

Tatanan ini tergambar dalam struktur adat di wilayah kepulauan ini, toko-toko adat sebagai pola anutan warganya, menjadi teladan dan di junjung tinggi dalam pengendalian kehidupan sehari-hari warganya, baik sebagai nelayan maupun petani. Pada musim tanam para toko adat berperan untuk menentukan musim tanam (“ iamba matitim” dalam bahasa Talaud ) juga bagi para nelayan dilaut, para toko adat berperan menasehati dan mengadakan upacara adat, dalam pembuatan alat tangkap seperti sampan (assan’a/perahu sanpan) maupun jaring. Peranan toko adat selalu terdepan dalam menampakkan nilai-nilai religiusnya dan di dalamnya para rohaniawan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan warganya, meskipun telah bertahun-tahun lamanya dan di wariskan secara turun temurun, baik jaman masa keemasan kemudian datanglah Portugis, Spanyol, dan Belanda sebagai penjajah tetapi dibalik dari semua itu kehidupan yang religius dalam masyarakat adat telah membuka diri dalam aspek kehidupan rohani dari zaman ke zaman, aspek kehidupan rohani telah menyatu dengan aspek sosial budaya warganya, sehingga sangat sulit untuk di bedakan bahkan hampir tidak mungkin lagi dibeda-bedakan. Kehidupan sehari-hari warga yang hidup diwilayah ini dalam pergulatan hidup dengan bangsa-bangsa Eropa di atas, iman kepercayaan dan adat Talaud tidak luntur dan goyah, hingga masuk dalam zaman kemerdekaan Indonesia, dalam sistem kenegaraan demokrasi pancasila, daerah kecil menjadi kabupaten/kota, Talaud tetap menjadi bagian dari kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud. Meskipun dalam konplik international peranan raja Talaud waktu itu Julius Tamawiwi adalah menjadi putusan akhir dalam sengketa international antara Philipines (Amerika Serikat) dan Hindia Belanda. Pengadilan Abitrase oleh seorang arbitrator mahkamah international Max Huber, telah ditetapkan dan diputuskan bahwa pulau Miangas adalah bagian dari pulau Talaud karena mereka yang mendiami pulau tersebut adalah berbahasa Talaud dalam pergaulan kehidupan sehari-harinya, yang dahulunya disebut Tinonda, seperti yang terungkap dalam syair lagu daerah Talaud, “Tutamandassa” yang di tulis oleh Johanis Vertinatus Gumolung (alm).

Tonggak sejarah peradaban warga Paradise telah dinyatakan kabupaten Kepulauan Talaud resmi berdiri pada tanggal 2 Juli 2002, dengan seorang pejabat negara Drs. F. Tumimbang, sebagai pejabat bupati kabupaten Kepulauan Talaud. Undang-undang No. 8 tahun 2002 telah menetapkan sebagai daerah otonom, ditindaklanjuti dengan peraturan daerah No. 2 tahun 2002 tentang hari ulang tahun kabupaten Kepulauan Talaud yaitu setiap tanggal 2 Juli. Kini timbul kebingungan dengan terpilihnya seorang bupati yang defenitif dalam sidang paripurna DPRD kabupaten Kepulauan Talaud, sejak masa itu penyelenggaraan perayaan hari ulang tahun kabupaten Kepulauan Talaud dirayakan pada tanggal 19 Juli, sebagai hari ulang tahun jabatan bupati yang defenitif.